Dokumenter Yang Berkejaran Waktu Dengan Usia

Edisi: 19 Mar / Tanggal : 2023-03-19 / Halaman : / Rubrik : SEL / Penulis :


WALAU hujan salju membawa dingin yang menusuk, penonton tetap memadati acara pemutaran perdana film Eksil di bioskop Rialto di Amsterdam pada Jumat malam, 10 Maret lalu. Kesenduan dan emosi mewarnai pemutaran film itu. Beberapa mahasiswa Indonesia lantas mendatangi sutradara film Eksil, Lola Amaria, seusai pertunjukan. “Mereka mengaku menangis selagi nonton, dan berterima kasih karena mereka tidak mengenal sejarah ini,” kata Lola, 45 tahun, kepada Tempo. Film ini sebelumnya diputar dalam Jogja-NETPAC Asian Film Festival Ke-18, November-Desember 2022.
Eksil, yang mengambil bagian dalam Festival Film CinemAsia pada awal Maret lalu di Amsterdam, mencoba mendobrak versi tunggal sejarah peristiwa 30 September 1965 (G30S) yang sampai sekarang masih dominan di Indonesia. “Kami hanya belajar bahwa PKI (Partai Komunis Indonesia) itu jahat dan yang benar adalah Soeharto,” ucap Lola, yang sudah lama berkecimpung di dunia film sebagai aktris, sutradara, dan produser. “Kalau dulu di sekolah bertanya lebih lanjut, saya dimarahi.” 

Peristiwa 1965 memakan ratusan ribu nyawa pada saat itu dan berdampak panjang setelahnya. Kewarganegaraan ratusan orang Indonesia, terutama mahasiswa, juga diplomat dan utusan pemerintah, yang berada di luar negeri ketika Gerakan 30 September terjadi dicabut. Siapa pun yang dilihat sebagai simpatisan haluan kiri, atau tidak setia kepada rezim baru, kehilangan paspor. 
Dalam film ini, Lola menelusuri jalan hidup sepuluh mahasiswa yang tengah kuliah di Uni Soviet, Cina, Cek, Rumania, serta Albania dan menjadi eksil setelah September 1965. Bertahun-tahun mereka putus komunikasi dengan keluarga di Tanah Air dan terpaksa beranjak tua di Belanda, Jerman, Cek, serta Swedia. Kebanyakan dari mereka baru pindah ke Eropa Barat pada 1970-an, setelah melintasi berbagai negara. Diperkirakan ada sekitar 600 eksil Indonesia di Eropa pada 2000.  
Dalam adegan pembukaan Eksil, Kuslan Budiman dengan rambut dan kumis memutih memegang paspor Indonesia-nya dengan tulisan "cancelled" tercetak pada dokumen tersebut. Terdengar suara Lola, “Bagaimana rasanya kalau kita ada, tapi dianggap tiada?”
Untuk film berdurasi 121 menit ini, Lola menyaring lebih dari 60 jam wawancara yang ia rekam antara 2013 dan 2015 di Eropa. Dia berlomba dengan waktu karena usia senja para eksil. Salah satu dari mereka, Sardjio Mintardjo, meninggal pada September 2015 sebelum sempat diwawancarai di depan kamera. Yang muncul kemudian adalah dua anak Mintardjo, yang mengenang sang ayah di peristirahatan terakhirnya di Desa Oegstgeest, Belanda. Lima dari sepuluh eksil yang tampil dalam film ini sekarang sudah tiada.
Kesedihan para eksil yang tidak bisa…

Keywords: Lola AmariaG30SPeristiwa 1965Film DokumenterEksil
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

Z
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14

Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…

J
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12

Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…

N
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12

Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…