Raga

Edisi: 14 Mei / Tanggal : 2023-05-14 / Halaman : / Rubrik : MA / Penulis :


“Duh, apa dosaning raga?”
WAHAI, apa gerangan dosa tubuh? Kalimat itu bergaung dalam sebuah tembang di puncak adegan tari Panji Sepuh—sederet kata yang seperti menggugat, atau mengeluh.
Tubuh, raga, atau badan, dalam khazanah sastra Jawa, memang sering diperlakukan sebagai penghambat. Atau setidaknya bagian yang hanya nomor dua pentingnya. Ia berada di bawah “jiwa” atau “roh”. Kitab Wulangreh, misalnya, menganjurkan kita agar “mencampakkan badan”, ambanting ing badanira, untuk “mengurangi nafsu yang berkecamuk”, darapon sudaa, nepsu kang ngambra-ambra.
Tentu tak hanya di Jawa. Di zaman Mesir Kuno, dan kemudian dilanjutkan pemikiran Yunani, ada sikap yang memandang tubuh secara negatif. Dalam Phaedo, Plato menyampaikan wejangan Sokrates menjelang mati: seorang filosof, kata Sokrates, lebih dari orang umumnya, harus membebaskan diri dari “kebodohan tubuh”. Kata soma-sema, misalnya, mengaitkan “tubuh” dengan “kubur”.
Saya termasuk orang yang tak mengamini Wulangreh dan Phaedo, meskipun di abad ke-21 kini, pandangan mereka—yang dengan mudah mengabaikan tubuh—secara tak langsung dipertegas artificial intelligence (AI).
AI bekerja dengan bahasa yang terbangun dari triliunan data yang diumpankan ke dalam algoritma—formula atau instruksi yang rinci—untuk mendapatkan satu atau beberapa pola tertentu. Tapi…

Keywords: Kecerdasan BuatanSocratesWulangrehChatGPTMarginalia
Rp. 15.000

Foto Terkait


Artikel Majalah Text Lainnya

A
Angst
2023-03-12

angst, bagi para pemikir eksistensialis, adalah anak kandung absurditas hidup. bagaimana memaknainya?

B
Bukan Hiduplah Jika Tak Terus Bergerak
2023-03-19

barat atau timur tak ada sebagai esensi. keduanya ada sebagai "fakta linguistik”.

R
Russkiy Mir
2023-03-26

mereka menyebutnya rasisme berkedok ketuhanan. russkiy mir memunculkan totalitarianisme masa lalu.