Bagaimana Toko Buku Alternatif Bisa Bertahan
Edisi: 11 Jun / Tanggal : 2023-06-11 / Halaman : / Rubrik : GH / Penulis :
BEBERAPA rak berisi berbagai jenis buku fiksi, dari puisi, cerita pendek, hingga novel, memenuhi ruangan Post Bookshop. Koleksi buku nonfiksi juga tersedia di toko buku yang berada di lantai atas Pasar Santa, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, tersebut. Misalnya buku terbitan Marjin Kiri seperti Merebut Ruang Kota dan Dilarang Gondrong. Buku anyar terbitan Gang Kabel, Penyair sebagai Mesin karya Martin Suryajaya, juga ada di sana.
Para pengunjung juga bisa menjumpai koleksi buku berbahasa Inggris, dari A Kidnapped West karya Milan Kundera hingga It Came from the Closet karangan Joe Vallese. Sebagai dekorasi, tiga poster berbingkai kayu tersusun rapi di atas rak buku. Salah satu poster itu bergambar sampul buku On the Road karya penulis Amerika Serikat, Jack Kerouac.
Berdiri pada 2014, Post Bookshop bukan sekadar tempat berjualan, melainkan ruang yang begitu personal. Begitulah konsep yang Teddy W. Kusuma usung ketika mendirikan toko buku tersebut bersama istrinya, Maesy Ang. “Aku ingin jaga toko buku sampai tua, karena ini tempat yang personal,” ujar Teddy saat berbincang dengan Tempo, Senin, 5 Juni lalu.
Teddy percaya bahwa setiap pengunjung mempunyai pengalaman pribadi ketika berkunjung ke toko buku. Karena itu, ia merancang Post Bookshop bergaya minimalis dengan kesan yang nyaman: dekorasi sederhana, pilihan musik teduh sebagai pengiring suasana, dan yang paling utama adalah koleksi buku.
Teddy menuturkan, fokus utama Post Bookshop di awal perjalanannya adalah menghadirkan buku-buku yang diterbitkan penerbit independen yang tidak tersedia di toko buku besar. Tokonya juga menghadirkan alternatif bacaan baru kepada masyarakat pembaca melalui buku-buku berbahasa Inggris. Ikhtiar itu mereka lanjutkan dengan membuat sejumlah kegiatan di toko. Salah satunya diskusi buku yang baru terbit. Biasanya diskusi digelar secara intim dengan jumlah peserta terbatas, 12-14 orang.
Sebagai pengembangan usaha, Teddy dan Maesy mendirikan penerbitan independen bernama Post Press pada 2016. Teddy mengatakan buku terbitan Post Press masih dirawat dalam jangka panjang. Dengan kata lain, buku terbitan mereka akan selalu ada dan bisa dimiliki oleh pembaca. “Jadi akan selalu ada, setidaknya di sini. Jadi ketika orang cari pasti ada,” tuturnya.
Post Bookshop, Teddy menambahkan, juga berusaha menciptakan peristiwa berkunjung ke toko buku sebagai sesuatu yang menyenangkan. Sebagai toko buku independen dengan biaya operasional dan orang-orang yang relatif sedikit, Teddy percaya jalur tersebut lebih mungkin ditempuh untuk dapat bertahan.
Bagi Teddy, setiap perjumpaan dengan para pengunjung mempunyai peristiwa masing-masing. “Nah, toko buku kecil biasanya seperti itu. Jadi ada interaksi personal,” ucapnya.
•••
DI tengah tutupnya sejumlah toko buku besar, seperti Gunung Agung yang akan menutup semua gerainya tahun ini, kehadiran toko buku alternatif boleh dibilang memberi harapan. Kehadiran mereka yang menjamur di sejumlah kota ikut menggairahkan dunia perbukuan di Tanah Air yang lesu.
Selain Post Bookshop di Jakarta, ada toko buku alternatif Buku Akik di Yogyakarta. Saat Tempo berkunjung ke toko buku di Jalan Kaliurang, Ngaglik, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, pada Senin, 5 Juni lalu, tersebut, alunan musik Silampukau mengalun syahdu dari piringan hitam yang diputar. Lagu-lagu band asal Surabaya itu menemani pengunjung toko buku milik Tomi Wibisono…
Keywords: Buku, Toko Buku, Toko Online, Toko Buku Alternatif, 
Artikel Majalah Text Lainnya
Tak Terpisahkan Capek, Jazz, dan Bir
1993-10-02Sejumlah eksekutif mencari dunia lain dengan mendatangi kafe. kafe yang menyuguhkan musik jazz jadi rebutan.…
AGAR MISS PULSA TIDAK KESEPIAN
1993-02-06Pemakaian telepon genggam atau telepon jinjing kini tak hanya untuk bisnis tapi juga untuk ngobrol.…
INGIN LAIN DARI YANG LAIN
1992-02-01Festival mobil gila dalam pesta otomotif 92 di surabaya akan diperlombakan mobil unik, nyentrik dan…