Perlawanan Petani Jawa Dalam Gerakan Ratu Adil
Edisi: 21 Jan / Tanggal : 2024-01-21 / Halaman : / Rubrik : IQR / Penulis :
SELEPAS hujan Rabu siang, 17 Januari 2024, kompleks Museum Lubang Mbah Soero Lunto terlihat sepi. Tak ada pengunjung di museum yang berada di kawasan Tangsi Baru, Kelurahan Tanah Lapang, Kecamatan Lembah Segar, Sawahlunto, Sumatera Barat, itu.
Di bagian depan kompleks museum tampak dua patung laki-laki kurus dengan lengan berotot dan bertelanjang dada tengah mendorong troli batu bara. Sementara itu, seorang mandor bertopi dan bertongkat mengawasi dua buruh tambang tersebut. Tak jauh dari patung itu, terlihat relief yang menggambarkan para buruh tambang yang tengah bekerja jauh di dalam lubang mengangkut batu bara dan baliho penunjuk tempat tersebut yang bertulisan “Tangsi Baru: Kawasan Situs Tambang Batu Bara Mbah Soero”.
Di samping relief itu terlihat sebuah gerbang masuk menuju lubang tambang terkunci dengan gembok dan ditutup pagar besi. Lubang ini juga biasa disebut Lubang Mbah Soero. Lubang itu memiliki kedalaman lebih dari 285 meter dengan enam level ke bawah hingga dasar tambang. Tambang ini pernah tercatat sebagai tambang batu bara terbesar di Asia Tenggara dengan cadangan mencapai 250 ton ketika ditemukan Belanda. Untuk mengeruk emas hitam ini, pemerintah kolonial Belanda mendatangkan tahanan pengadilan Batavia untuk dijadikan pekerja paksa.
Fatris M.F. menulis dalam buku Merobek Sumatera bahwa kota yang pernah jaya di masa lalu itu dihidupkan oleh 11 ribu pekerja multietnis dengan status yang beragam, termasuk mereka yang disebut orang rantai. Tidak sedikit orang rantai yang menemui ajalnya di lubang tambang batu bara Sawahlunto karena kerja paksa yang diterapkan Belanda. Mereka dipaksa bekerja dengan rantai membelenggu tangan dan kaki.
Konon, Samin Surosentiko, pemimpin masyarakat Samin, dan beberapa pengikutnya dipekerjakan di Pegunungan Kendeng di sekitar Blora dan Rembang, Jawa Tengah. Mereka ditangkap Belanda karena dianggap melawan aturan penguasa saat itu. Mereka melawan tanpa kekerasan dan menolak membayar pajak. Dalam buku karya Sindhunata, Ratu Adil: Ramalan Jayabaya & Sejarah Perlawanan Wong Cilik, boikot pajak masyarakat Samin ini terjadi pada periode Politik Etis yang dilaksanakan oleh administrasi kolonial di daerah Rembang dan Semarang serta Madiun, Jawa Timur.
Mereka harus membayar berbagai macam pajak dan setoran. Ada juga program pengenalan dan pemeliharaan ras sapi baru untuk pengganti jenis ternak lama, pembaruan irigasi, dan pengisian kas desa. Tapi, dalam pelaksanaannya, petani…
Keywords: Buku, Sindhunata, Jayabaya, petani, Samin Surosentiko, Ratu Adil, 
Artikel Majalah Text Lainnya
Dan Sang Guru Berkata...
2004-04-18Novel filsafat sophie's world menjadi sebuah jendela bagi dunia untuk melihat dunia imajinasi dan edukasi…
Enigma dalam Keluarga Glass
2010-04-11Sesungguhnya, rangkaian cerita tentang keluarga glass adalah karya j.d. salinger yang paling superior.
Tapol 007: Cerita tentang Seorang Kawan
2006-05-14pramoedya ananta toer pergi di usia 81 tahun. kita sering mendengar hidupnya yang seperti epos.…