Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Apakah Tingkat Kemiskinan Berkorelasi dengan Stunting?

Selasa, 14 Februari 2023 15:36 WIB

Laporan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022 yang dirilis Kementerian Kesehatan menyebut bahwa angka stunting balita Indonesia pada 2022 adalah 21,6 persen, menurun dari 24,4 persen pada 2021. Angka stunting nasional mengalami penurunan konstan dalam enam survei yang dilakukan dalam 10 tahun terakhir.

Dikutip dari situs Kementerian Kesehatan, stunting adalah kondisi gagal pertumbuhan tinggi tubuh dan otak pada anak akibat kekurangan gizi dalam waktu yang lama. Sehingga, anak lebih pendek dari anak normal seusianya dan memiliki keterlambatan dalam berpikir. Hal ini disebabkan akses yang kurang terhadap makanan bergizi, terutama asupan vitamin dan mineral, serta sumber protein hewani.

Selain kekurangan gizi yang dialami anak, stunting juga dipengaruhi oleh ibu yang mengalami kekurangan nutrisi pada saat remaja, bahkan di masa kehamilan, dan menyusui. Tidak hanya itu,  akses sanitasi yang layak dan air bersih menjadi salah satu faktor yang sangat mempengaruhi pertumbuhan anak.

Ragam penyebab stunting di atas sangat lekat dengan kemiskinan. Asumsi dasarnya adalah, kemiskinan membuat si ibu dan anak kesulitan mendapatkan makanan bergizi dengan harga terjangkau. Kemiskinan juga erat kaitannya dengan kesulitan mendapatkan akses sanitasi yang layak dan air bersih.

Tempo kemudian mencari tahu seberapa dekat hubungan antara tingkat kemiskinan dengan prevalensi balita stunting di suatu provinsi. Data tingkat kemiskinan yang dipakai merupakan yang terbaru, yakni tingkat kemiskinan pada September 2022.

Berdasarkan perhitungan Tempo menggunakan Microsoft Excel, nilai korelasi variabel tingkat kemiskinan setiap provinsi dengan prevalensi balita stunting adalah sebesar 0,59. Nilai korelasi positif menandakan bahwa terdapat hubungan antar variabel berbanding lurus. Sehingga, semakin tinggi tingkat kemiskinan di suatu wilayah, seharusnya semakin tinggi pula prevalensi balita stunting di wilayah tersebut, dan begitu pula sebaliknya.

Korelasi tersebut tergambar pada visualisasi di atas. Papua, Papua Barat, dan Nusa Tenggara Timur merupakan salah tiga provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Indonesia, ditandai dengan posisi titik yang secara vertikal relatif lebih tinggi dibanding provinsi-provinsi lainnya. Ketiga provinsi itu juga memiliki prevalensi stunting pada balita tertinggi, ditandai dengan posisi titik yang secara horizontal berada paling kanan dibanding provinsi-provinsi lainnya. Hal sebaliknya pun terjadi pada Bali dan DKI Jakarta, dua provinsi dengan tingkat kemiskinan dan prevalensi balita stunting terendah di Indonesia.

Namun, beberapa provinsi menunjukkan tren yang tidak sesuai. Seperti contoh adalah Bengkulu, yang memiliki tingkat kemiskinan di atas tingkat kemiskinan nasional, tetapi memiliki prevalensi kasus stunting balita yang lebih rendah. Sedangkan Sulawesi Barat dan Kalimantan Selatan yang memiliki tingkat kemiskinan lebih rendah dari Bengkulu justru memiliki prevalensi kasus stunting yang lebih tinggi.

Hal ini menandakan bahwa korelasi antara tingkat kemiskinan dengan prevalensi stunting di suatu daerah tidak terlalu kuat. Untuk diketahui, nilai korelasi antar variabel akan semakin kuat jika mendekati 1. Korelasi yang tidak terlalu kuat di atas menandakan bahwa penyebab stunting multi faktor dan bukan kemiskinan semata.