Apa Saja Sektor Penyumbang Polusi Udara di Jakarta?
Oleh
Senin, 14 Agustus 2023 16:58 WIB
Pemandangan Tugu Monas yang diselimuti polusi udara pada Selasa, 25 Juli 2023 .Berdasarkan data IQAir pukul 16.29 WIB, Jakarta tercatat menjadi kota dengan kualitas udara dan polusi terburuk di dunia dengan nilai indeks 168 atau masuk kategori tidak sehat. TEMPO / Hilman Fathurrahman W
Jakarta mendapat sorotan dari sejumlah media asing menyusul polusi udara yang memburuk. Berdasarkan data perusahaan teknologi kualitas udara Swiss, IQAir, Jakarta secara konsisten menempati peringkat atas di antara 10 kota paling tercemar secara global sejak Mei 2023.
Selain IQAir, aplikasi penyedia data kualitas udara, Nafas Indonesia, dalam laporan bulan Juli 2023 juga menyebut bahwa polusi udara di Jakarta dan kota-kota sekitarnya pada bulan lalu berada pada level relatif buruk. Berdasarkan data tingkat kandungan konsentrasi partikulat (PM 2,5), paparan polusi udara di daerah-daerah tersebut tergolong tidak sehat, terutama bagi kelompok rentan.
Berkaca pada dokumen Laporan Inventarisasi Emisi Pencemar Udara DKI Jakarta yang dirilis Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta bekerja sama dengan Vital Strategies pada 2020, tercatat ada lima sektor penyumbang beban emisi DKI Jakarta. Yakni pusat komersial, perumahan, industri energi, industri manufaktur, dan transportasi.
Sektor transportasi menjadi penyumbang terbesar emisi pencemar udara menurut laporan tersebut, yakni hingga lebih dari 500 ribu ton. Angka itu jauh di atas sumbangsih emisi sektor lain yang berada pada kisaran ratusan hingga puluhan ribu ton.
Ada tiga jenis senyawa penyumbang emisi utama yang dihasilkan transportasi, seperti tampak pada visualisasi di atas. Yakni nitrogen oksida, karbon monoksida, dan senyawa organik volatil nonmetana (NVOCs). Senyawa-senyawa tersebut dihasilkan oleh pembakaran bahan bakar fosil, mengingat kendaraan bermotor merupakan konsumen terbesar bahan bakar minyak.
Sedangkan sektor industri manufaktur tercatat sebagai penyumbang emisi sulfur dioksida terbesar dibanding sektor lain, yakni sebesar 2.637 ton per tahun, atau sekitar 62 persen, disusul industri energi sebesar 1.071 ton per tahun atau 25 persen dari keseluruhan. Sulfur dioksida juga disebabkan oleh pembakaran bahan bakar fosil, terutama batu bara.
Dalam laporan 2023 Statistical Review of World Energy, Indonesia termasuk dalam lima besar negara paling bergantung terhadap bahan bakar fosil. Sebagian besar energi yang digunakan merupakan batu bara serta minyak bumi. Padahal, selain menjadi penyumbang pencemaran terbesar, bahan bakar fosil juga menghasilkan tingkat kematian yang lebih tinggi dibanding energi terbarukan.