Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke [email protected].

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Rata-rata Kematian Akibat Bencana Alam Menurun Dibanding Satu Abad Lalu

Sabtu, 16 September 2023 18:24 WIB

Mobil rusak akibat badai dahsyat dan hujan lebat melanda negara itu, di Derna, Libya 13 September 2023. Ribuan jasad menumpuk di jalan kota Derna, wilayah pesisir utara Libya yang porak poranda diterjang bencana alam banjir bandang imbas hujan deras dan bendungan jebol. REUTERS/Ayman Al-Sahili

Dalam kurun waktu kurang dari seminggu, dua bencana alam mematikan melanda kawasan Afrika Utara. Pertama adalah gempa Maroko berkekuatan 6,8 magnitudo pada Jumat, 8 September 2023 dan menewaskan lebih dari 2.800 jiwa. Kemudian banjir Libya pada Senin, 11 September 2023 yang diperkirakan memakan korban jiwa hingga 20 ribu jiwa.

Terkait banjir Libya, Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) menyebut bahwa korban jiwa dalam jumlah besar harusnya dapat dihindari seandainya negara yang sedang terpecah tersebut memiliki layanan cuaca memadai yang mampu mengeluarkan peringatan. Untuk diketahui, banjir yang terjadi disebabkan oleh hujan ekstrem yang merupakan dampak dari badai Daniel yang melanda kawasan Mediterania. Hujan ekstrem itu lantas meruntuhkan bendungan tua yang menyebabkan air bah membanjiri kota Derna di Libya timur.

Banjir memang merupakan salah satu bencana alam yang paling banyak memakan korban jiwa. Di masa lampau, bahkan banjir dapat memakan korban jiwa lebih banyak. Situs ListVerse mencatat bahwa banjir di Cina pada 1887 dan 1931 diperkirakan memakan korban jiwa hingga jutaan jiwa.

Selain banjir, kekeringan juga menjadi salah satu bencana alam yang berpotensi menimbulkan korban jiwa dalam jumlah besar karena kelaparan yang ditimbulkan. Bencana kelaparan di Etiopia pada 1980-an diperkirakan memakan korban jiwa 300 ribu hingga 1,2 juta jiwa.

Seiring perkembangan teknologi yang mengikuti kemajuan zaman, maka tentu jumlah korban jiwa akibat bencana alam dapat lebih diminimalisir. Sebuah riset di situs Our World in Data mencatat bahwa rata-rata tahunan kematian akibat bencana alam pada dekade 1920-an mencapai 500 ribu jiwa per tahun. Kemudian pada dekade 2010-an, angkanya menyusut jadi hanya sekitar 45 ribu jiwa per tahun, seperti tampak pada visualisasi di atas.

Dampak akibat bencana alam meteorologis seperti banjir, kekeringan, dan kebakaran hutan tentu dapat lebih mudah diminimalisir mengingat iklim yang dapat diprediksi. Alhasil, badan terkait dapat mengeluarkan prediksi yang dapat meningkatkan kesiapan pihak terkait.

Namun kesiapan serupa tentu tidak didapat dari bencana yang ditimbulkan aktivitas geologi seperti gempa bumi, tsunami, dan erupsi gunung. Hal ini lantaran bencana-bencana tersebut tidak dapat diprediksi secara pasti waktu kejadiannya.

Namun kesiapan dapat diperoleh dari pengalaman serta infrastruktur. Saat gempa besar dan tsunami melanda Aceh pada 2004, korban jiwa di Pulau Simeulue jauh lebih sedikit dibanding kawasan daratan Aceh. Hal ini berkat kisah smong (tsunami) tahun 1907 yang telah menjadi kearifan lokal penduduk setempat, yang mengingatkan orang untuk segera berlari ke bukit setelah gempa besar terjadi.