Apa Saja Faktor-faktor yang Melemahkan Nilai Tukar Rupiah?
Oleh
Jumat, 3 November 2023 23:26 WIB
Petugas penukaran mata uang asing tengah menghitung uang pecahan 100 dolar Amerika di Jakarta, Kamis, 24 Desember 2020. Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menguat tipis 5 poin atau 0,03 persen ke level 14.200. Tempo/Tony Hartawan
Nilai tukar rupiah mengalami pelemahan akhir-akhir ini. Sepanjang Oktober lalu, nilai tukar rupiah mendekati Rp 16.000 untuk US$ 1.
Pelemahan rupiah dapat berpotensi mengganggu kestabilan ekonomi. Harga komoditas pangan yang diimpor dapat melonjak karena penggunaan mata uang Amerika Serikat tersebut. Selain itu bisnis penerbangan juga terganggu, mengingat beban operasional perusahaan mengandalkan mata uang dolar AS.
Ekonom dan Associate dari Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia Ryan Kiryanto menyebut ada tiga faktor yang melatarbelakangi pelemahan rupiah akhir-akhir ini. Pertama ialah kebijakan Bank Sentral AS (The Fed) yang menaikkan suku bunga untuk mengendalikan inflasi domestik AS. Kedua, konflik geopolitik antara Rusia dengan Ukraina serta Hamas dengan Israel yang menyebabkan ketidakpastian ekonomi global. Ketiga adalah kegaduhan politik domestik Indonesia menjelang Pemilu 2024.
Ada enam faktor yang mempengaruhi pergerakan nilai mata uang negara, menurut situs Investopedia, seperti yang ditampilkan tabel di atas. Faktor-faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain. Secara garis besar, ada dua sektor yang dapat mempengaruhi pergerakan nilai mata uang, yakni ekonomi dan politik.
Tempo mencari tahu faktor-faktor apa yang memiliki korelasi kuat terhadap pelemahan nilai tukar rupiah akhir-akhir ini. Ada tujuh faktor yang ditelusuri dan dicari seberapa kuat korelasinya terhadap pelemahan rupiah terhadap dollar. Faktor-faktor tersebut secara garis besar terbagi dalam dua aspek, yakni kondisi perekonomian AS dan kondisi perekonomian Indonesia. Faktor lain seperti kegaduhan politik domestik dan konflik geopolitik dikecualikan lantaran butuh metode yang kompleks untuk mengkuantifikasi dua faktor tersebut.
Korelasi akan semakin kuat apabila nilainya mendekati 1 atau -1. Nilai korelasi yang positif menandakan bahwa dua variabel memiliki hubungan yang sejalan, yakni saat suatu variabel menguat, maka variabel lain turut menguat. Sedangkan korelasi negatif memiliki hubungan berkebalikan. Sebagai contoh, suatu variabel bisa saja melemah di saat variabel lain menguat. Kemudian, nilai korelasi yang mendekati 0 menandakan hubungan antar dua variabel lemah.
Pengaruh Suku Bunga The Fed dan Bank Indonesia
Seperti yang sudah disinggung, bahwa pelemahan rupiah dipengaruhi oleh kebijakan The Fed yang agresif untuk menekan inflasi di AS dengan menaikkan suku bunga. Kebijakan ini memiliki korelasi yang kuat terhadap pelemahan rupiah, dengan nilai korelasi sekitar 0,72.
Seperti terlihat pada visualisasi di atas, suku bunga The Fed yang semakin tinggi—nilainya semakin ke kanan—membuat nilai tukar rupiah terhadap dolar semakin melambung mendekati Rp 16 ribu.
Langkah serupa yang diambil Bank Indonesia, dengan menaikkan BI-7 Day Reverse Repo Rate juga ternyata memiliki korelasi yang kuat. Dengan asumsi bahwa kenaikan suku bunga BI ditujukan untuk menguatkan rupiah, maka seharusnya nilai korelasi yang dihasilkan bersifat negatif atau berkebalikan. Namun korelasi yang dihasilkan justru bernilai positif, meski tidak sekuat pengaruh kenaikan suku bunga The Fed.
Meski kebijakan ini awalnya ditujukan untuk mendongkrak nilai rupiah, nyatanya kebijakan ini belum berhasil menekan pelemahan rupiah lantaran faktor eksternal lain, seperti konflik geopolitik dan gejolak politik domestik.
Performa Ekonomi AS dan Indonesia
Perekonomian AS yang perlahan menguat turut menekan nilai rupiah. Bahkan, faktor ini memiliki nilai korelasi paling kuat dibanding faktor lain, yakni hingga sekitar 0,9. Ekonomi AS yang tumbuh 4,9 persen pada triwulan III tahun ini di saat bersamaan semakin melambungkan nilai tukar rupiah mendekati Rp 16 ribu.
Sedangkan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang lebih tinggi, yakni pada kisaran 5 persen, tidak dapat berbuat banyak untuk menguatkan rupiah. Dengan asumsi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang kuat, maka ia akan melemahkan dolar terhadap rupiah, alias menghasilkan nilai korelasi negatif. Namun, perhitungan Tempo seperti pada visualisasi di atas menunjukkan bahwa nilai korelasi yang dihasilkan justru positif, meski bersifat lemah.
Pengaruh Neraca Dagang dan Term of Trade (ToT)
Dengan asumsi serupa seperti pertumbuhan ekonomi Indonesia, maka seharusnya nilai neraca dagang dan rasio nilai ekspor terhadap impor (ToT) Indonesia juga menghasilkan nilai korelasi negatif dalam kaitannya terhadap nilai rupiah. Dengan kata lain, seharusnya kinerja neraca dagang dan ToT yang positif dapat membantu menguatkan nilai rupiah.
Namun, dua variabel tersebut hanya memiliki korelasi yang lemah terhadap pergerakan nilai tukar rupiah. Tak hanya itu, nilai yang dihasilkan dari dua faktor tersebut justru bersifat positif, alias mendukung faktor pelemahan rupiah, meski sifatnya lemah.
Pengaruh Utang Pemerintah Indonesia
Utang pemerintah yang semakin menggunung seharusnya turut melemahkan nilai tukar mata uang suatu negara, alias berkorelasi positif. Namun, perhitungan Tempo memiliki hasil sebaliknya. Nilai tukar rupiah dalam setahun terakhir justru berada di posisi terkuat saat utang pemerintah masih lebih banyak dibanding data terbaru—Agustus 2023—seperti tampak pada visualisasi di atas. Nilai korelasi yang dihasilkan pun tergolong kuat, yakni sekitar -0,66. Meski nilai tersebut tentu tidak sekuat korelasi yang dihasilkan oleh pengaruh kenaikan suku bunga The Fed, dan pertumbuhan ekonomi AS.