Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Kejaksaan jadi Instansi Pemberi Status Justice Collaborator Kasus Korupsi Terbanyak

Kamis, 9 Desember 2021 18:14 WIB

Berdasarkan temuan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) hingga 24 November 2021, jumlah narapidana yang menjadi justice collaborator untuk kasus korupsi adalah sebanyak 209 orang. Lembaga yang paling banyak memberikan status justice collaborator pada napi korupsi adalah kejaksaan, yakni 173 orang. 

Lembaga pemberi status justice collaborator terbanyak kedua adalah KPK, yakni kepada 22 orang. Sedangkan institusi kepolisian memberikan status itu untuk 14 orang.

Jumlah justice collaborator dalam kasus korupsi pun jauh lebih sedikit dibandingkan kasus narkotika. Dari informasi yang dihimpun LPSK, jumlah status justice collaborator yang dikeluarkan penegak hukum terkait tindak pidana narkotika sudah mencapai 27.124 orang, terhitung hingga 24 November 2021.

 

Dari 27.124 narapidana kasus narkotika yang mendapat status justice collaborator, sebagian besar mendapat status itu dari kejaksaan, yakni 17.804 orang. Kemudian dari kepolisian sebanyak 9.245 orang, dan dari Badan Narkotika Nasional (BNN) sebanyak 74 orang.

Di sisi lain, LPSK hanya menerima 28 permohonan justice collaborator dalam kurun 2015-2020. Angka tersebut sangat jauh dari total penerbitan status justice collaborator oleh penegak hukum terkait tindak pidana korupsi dan narkotika. Dua tindak pidana itu tergolong dalam tindak pidana prioritas LPSK.

Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) telah memandang penting pemanfaatan justice collaborator dalam memerangi korupsi, yang kemudian dituangkan dalam United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang lahir pada tahun 2003. 

Indonesia termasuk sebagai salah satu negara yang meratifikasi konvensi itu. Hasil ratifikasi itu diwujudkan dalam UU No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption. 

Kemudian di tahun yang sama, terbit UU Nomor 13 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang mengatur tentang ruang keringanan pidana bagi pelaku yang bekerja sama alias justice collaborators. Kemudian peraturan itu berubah menjadi UU Nomor 31 Tahun 2014.

LPSK pun mengingatkan penegak hukum agar memberikan status justice collaborators (JC) sesuai aturan itu. 

“Ketidakpatuhan terhadap UU ini dapat membuat legitimasi keputusan yang diambil menimbulkan pertanyaan yang tidak perlu, bahkan menimbulkan kecurigaan atas motifnya,” kata Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu di Jakarta pada Rabu, 8 Desember 2021. 

Pemberian status justice collaborators yang dilakukan tidak sesuai ketentuan berpotensi membahayakan proses penegakan hukum. Selain itu,  juga membuka celah baru terjadinya korupsi. 

“Ketimpangan ini menjadi informasi penting bagi publik dalam kaitannya untuk mengetahui fenomena pemberian status JC, khususnya terkait kepatuhan penegak hukum dalam memberikan status JC sesuai ketentuan hukum yang berlaku,” kata Edwin.